BAB 13: KEPUTUSAN STRUKTUR MODAL



BAB 13
KEPUTUSAN STRUKTUR MODAL

1.      KONSEP LEVERAGE
Arti leverage secara harfiah (literal) adalah pengungkit. Pengungkit biasanya digunakan untuk membantu mengangkat beban yang berat. Dalam keuangan, leverage juga mempunyai maksud yang serupa. Lebih spesifik lagi, leverage bisa digunakan untuk meningkatkan tingkat keuntungan yang diharapkan. 

           1.1  Operating Leverage
Operating leverage bisa diartikan sebagai seberapa besar perusahaan menggunakan beban tetap operasional. Beban tetap operasional biasanya berasal dari biaya depresiasi, biaya produksi dan pemasaran yang bersifat tetap (misal gaji bulanan karyawan). Sebagai kebalikannya adalah beban (biaya) variabel operasional. Komposisi biaya tetap/variabel yang berbeda mempunyai implikasi yang berbeda terhadap risiko dan keuntungan yang diharapkan oleh perusahaan.
Perusahaan yang menggunakan biaya tetap dalam proporsi yang tinggi (relatif terhadap biaya variabel) dikatakan menggunakan operating leverage yang tinggi. Dengan kata lain, degree of operating leverage (DOL) untuk perusahaan tersebut tinggi. Perubahan penjualan yang kecil akan mengakibatkan perubahan pendapatan yang tinggi (lebih sensitif). Jika perusahaan mempunyai degree of operating leverage (DOL) yang tinggi, tingkat penjualan yang tinggi akan menghasilkan pendapatan yang tinggi. Tetapi sebaliknya, jika tingkat penjualan turun secara signifikan, perusahaan tersebut akan mengalami kerugian. Dengan demikian DOL seperti pisau dengan dua mata: bisa membawa manfaat, sebaliknya bisa merugikan.
Derajat leverage operasi (Degree of Operating Leverage) bisa diartikan sebagai efek perubahan penjualan terhadap pendapatan (profit). Secara formal, degree of operating leverage (DOL) bisa dituliskan sebagai berikut ini.




Profit bisa ditulis sebagai berikut:
Profit   = P  =  (c.Q) – F
dimana           
c  = marjin kontribusi = (P – V)
P = harga produk per-unit
V = biaya variabel per-unit
Q = jumlah unit produk yang terjual
F = biaya tetap

DOL    = (ΔP / P) / (ΔQ / Q)
            = (Δ (cQ – F) ) / (cQ – F) / (ΔQ / Q)
            = (cΔQ – ΔF) ) / (cQ – F) / (ΔQ / Q)   karena ΔF = 0, (biaya tetap), maka:
            = (cΔQ.Q) / (cQ – F) ΔQ       
            = c.Q / (cQ – F)

           1.2  Leverage Keuangan (Financial Leverage)
Leverage keuangan bisa diartikan sebagai besarnya beban tetap keuangan (finansial) yang digunakan oleh perusahaan. Beban tetap keuangan tersebut biasanya berasal dari pembayaran bunga untuk hutang yang digunakan oleh perusahaan. Karena itu pembicaraan leverage keuangan berkaitan dengan struktur modal perusahaan. Perusahaan yang menggunakan beban tetap (bunga) yang tinggi berarti menggunakan hutang yang tinggi. Perusahaan tersebut dikatakan mempunyai leverage keuangan yang tinggi, yang berarti degree of financial leverage (DFL) untuk perusahaan tersebut juga tinggi.
Degree of financial leverage mempunyai implikasi terhadap earning per-share perusahaan. Untuk perusahaan yang mempunyai DFL yang tinggi, perubahan EBIT (Earning Before Interest and Taxes) akan menyebabkan perubahan EPS yang tinggi. Sama seperti degree of operating leverage (DOL), DFL seperti pisau bermata dua: jika EBIT meningkat, EPS akan meningkat secara signifikan, sebaliknya, jika EBIT turun, EPS juga akan turun secara signifikan.
Derajat leverage keuangan (Degree of Financial Leverage) bisa diartikan sebagai efek perubahan EBIT terhadap pendapatan (profit). Secara formal, degree of financial leverage (DFL) bisa dituliskan sebagai berikut.


Persamaan di atas bisa diringkaskan sebagai berikut ini.
Laba setelah pajak = (EBIT – Bunga) (1 – Tc),
Tambahan laba setelah pajak = Δ(EBIT – Bunga) (1 – Tc) = (ΔEBIT – Δbunga) ( 1 – Tc)
Karena Δbunga = 0, maka bisa ditulis kembali menjadi (ΔEBIT) (1 – Tc)
Dengan demikian DFK bisa ditulis kembali menjadi:

DFL = EBIT / (EBIT – Bunga)

Semakin tinggi hutang yang dipakai, semakin tinggi Degree of financial leverage. Penggunaan leverage keuangan yang besar mempunyai implikasi yang sama dengan penggunaan leverage operasi yang besar, yaitu meningkatkan ‘leverage’. Dengan menggunakan leverage yang tinggi, perubahan EBIT yang sedikit akan meningkatkan EAT lebih besar. 

           1.3  Kombinasi Leverage Operasi dengan Leverage Keuangan
Leverage operasi berkaitan dengan efek perubahan penjualan terhadap EBIT (laba sebelum bunga dan pajak). Sementara leverage keuangan berkaitan dengan efek perubahan EBIT terhadap EAT (laba setelah pajak). Perusahaan bisa mengkombinasikan keduanya untuk memperoleh leverage gabungan.
Derajat leverage gabungan (DCL atau Degree of Combined Leverage) bisa dihitung sebagai berikut ini.


DCL    = DOL x DFL
            = {[c.Q / (cQ – F)] x [EBIT / (EBIT – Bunga)]}
            = {[c.Q / (cQ – F)] x [(cQ – F) / ((cQ – F) – Bunga)]}
            = c.Q / (c.Q – F – Bunga)


2.      PENDEKATAN EBIT – EPS
Misalkan PT ABC saat ini tidak memiliki utang. Harga per lembar saham perusahaan Rp500,00 dengan jumlah saham beredar 100.000 lembar. Perusahaan membutuhkan tambahan dana Rp 10 juta. Perusahaan mempunyai 2 pilihan: (1) menerbitkan saham baru, atau (2) menggunakan utang dengan tingkat bunga 20%. Misal perusahaan memperoleh EBIT sebesar Rp15 juta, tabel berikut meringkas EPS yang akan  diperoleh jika perusahaan menggunakan saham baru dan menggunakan utang.

EPS untuk Utang dan Saham Baru

Saham Baru
Utang
EBIT
15.000.000
15.000.000
Bunga
0
2.000.000
Earning Before Taxes
15.000.000
13.000.000
Pajak
6.000.000
5.200.000
Laba Bersih
9.000.000
7.800.000
Jumlah Saham Beredar
120.000
100.000
EPS (Earning Per-Share)
75
78

Jika perusahaan menerbitkan saham baru, maka perusahaan akan menerbitkan 20.000 lembar saham baru (Rp10 juta / Rp500). Maka jumlah saham yang beredar bertambah menjadi 120.000 lembar. Kolom kedua diatas memperlihatkan perhitungan EPS jika perusahaan memilih alternatif pertama.
Jika perusahaan memilih menggunakan utang, perusahaan baru akan membayar bunga Rp2 juta (20% x Rp10 juta). Jumlah saham beredar tidak berubah. EPS yang diperoleh Rp78,00 per lembar saham. Karena EPS untuk alternatif utang lebih tinggi disbanding saham, untuk EBIT Rp15 juta sebaiknya perusahaan menggunakan utang. Jika EBIT yang diperoleh lebih rendah, alternatif utang tidak menguntungkan, karena perusahaan harus membayar kewajiban bunga tetap Rp2 juta. Misal EBIT yang diperoleh Rp9 juta, berikut perhitungan EPS untuk kedua alternatif tersebut.

EPS jika EBIT = Rp9 juta

Saham Baru
Utang
EBIT
9.000.000
9.000.000
Bunga
0
2.000.000
Earning Before Taxes
9.000.000
7.000.000
Pajak
3.600.000
2.800.000
Laba Bersih
5.400.000
4.200.000
Jumlah Saham Beredar
120.000
100.000
EPS (Earning Per-Share)
45
42

Perhitungan pada tabel menunjukkan EPS saham lebih tinggi dibandingkan utang, maka sebaiknya perusahaan mengeluarkan saham baru jika EBIT yang diperoleh Rp9 juta.
Kita bisa menghitung titik EBIT ‘break-even’ dimana alternatif saham baru akan menghasilkan EPS yang sama dengan alternatif hutang. Berikut ini formula untuk perhitungan tersebut.

Dimana:
EBIT*       = EBIT break-even
B1, B1           = Bunga yang dibayarkan untuk alternatif 1, dan 2
Tc              = Tingkat pajak
Dp1, Dp1     = Dividen saham preferen untuk alternatif 1 dan 2
N1, N2          = Jumlah saham beredar untuk alternatif 1 dan 2

Untuk contoh di atas, berikut perhitungan EBIT yang akan menyamakan EPS untuk kedua alternatif tersebut.
[(EBIT* - 0) (1 – 0,4) – 0] 100.000 = [(EBIT* - 2 juta) (1 – 0,4) – 0] 120.000
60.000 EBIT* = [(0,6 EBIT* - 1,2 juta)] 120.000
60.000 EBIT* = (72.000 EBIT* - 144.000 juta)
EBIT*             = 12.000.000
Berikut ini perhitungan EPS jika EBIT keduanya adalah Rp12 juta.

EPS jika EBIT = Rp12 juta (Break-even antara Saham Baru da Utang)

Saham Baru
Utang
EBIT
12.000.000
12.000.000
Bunga
0
2.000.000
Earning Before Taxes
12.000.000
10.000.000
Pajak
4.800.000
4.000.000
Laba Bersih
7.200.000
6.000.000
Jumlah Saham Beredar
120.000
100.000
EPS (Earning Per-Share)
60
60

Tabel tersebut menunjukkan jika perusahaan memperoleh EBIT di atas Rp12 juta, penggunaan utang akan menghasilkan EPS lebih tinggi, sehingga utang menjadi lebih menarik. Sebaliknya, jika EBIT di bawah Rp12 juta, alternatif saham baru lebih baik dibandingkan utang.
Misalkan perusahaan mempertimbangkan alternatif ketiga yaitu menerbitkan saha preferen dengan dividen sebesar 15%. Titik break-even antara saham biasa dengan saham preferen bisa dihitung sebagai berikut.
[(EBIT* - 0) (1 – 0,4) – 0] 120.000 = [(EBIT* - 0) (1 – 0,4) – 1,5 juta] 100.000
(72.000 EBIT*)     = 60.000 EBIT* - 150.000 juta
EBIT*                   = 12.500.000

Bagan berikut ini menggambarkan titik break-even untuk utang, saham preferen dan saham biasa.
Titik Break-even Utang, Saham Preferen dana Saham Biasa

Pendekatan EBIT-EPS dalam struktur modal bermanfaat bagi manajer keuangan, meski ada beberapa keterbatasan. Pertama, metode tersebut tidak membicarakan pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Kedua, pendekatan tersebut tidak memperhitungkan biaya hutang yang bersifat implisit.
Tetapi analisis tersebut bisa memberi gambaran seberapa besar EBIT yang harus diperoleh jika manajer keuangan ingin memperoleh EPS tertentu. Contoh, manajer keuangan bisa menghitung EBIT* (yang menyamakan EPS hutang dengan EPS saham), kemudian manajer keuangan bisa memperkirakan probabilitas memperoleh EBIT di atas EBIT*. Jika probabilitasnya tinggi, maka penggunaan hutang bisa disarankan. Sebaliknya, jika probabilitasnya kecil, manajer keuangan barangkali akan lebih baik menggunakan saham.


3.      RASIO COVERAGE
Rasio coverage ingin melihat seberapa jauh kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban yang bersifat tetap. Semakin tinggi angka tersebut, semakin tinggi (aman) kemampuan perusahaan bisa memenuhi kewajibannya. Rasio coverage bisa dihitung sebagai berikut ini.

Formula di atas hanya memasukkan pembayaran bunga, padahal perusahaan, dalam beberapa situasi, harus juga membayar cicilan pembayaran. Alternatif lain untuk menghitung rasio coverage adalah dengan memasukkan cicilan pembayaran hutang.
Rasio debt-service coverage dipakai untuk menghitung kewajiban tersebut.

Cicilan hutang disesuaikan karena cicilan hutang tidak bisa dipakai sebagai pengurang pajak. Disamping beban tetap dari bunga, perusahaan bisa memperoleh beban tetap lainnya. Leasing (sewa) merupakan contoh beban tetap bukan bunga. Beban tetap leasing mempunyai kewajiban yang sama dengan beban tetap hutang. Karena itu, leasing seharusnya juga dimasukkan ke dalam persamaan-persamaan di atas.
Rasio fixed charge coverage (FCC) memasukkan sewa, sebagai berikut ini.

Manajer keuangan bisa menggunakan rasio-rasio tersebut pada menghitung target struktur modal. Lebih spesifik, jika perusahaan mempunyai target rasio coverage tertentu, atau pihak perbankan (kreditor) menetapkan rasio coverage tertentu, maka penggunaan hutang harus dianalisis efeknya terhadap rasio tersebut.


4.      PENDEKATAN BIAYA MODAL
Manajer keuangan bisa menggunakan pendekatan biaya modal untuk menghitung struktur modal yang optimal, yaitu yang bisa memaksimumkan nilai perusahaan.
Misalkan perusahaan sedang mempertimbangkan alternatif-alternatif pendanaa 20%, 40%, 60%, 80% dan 90% dari total nilai perusahaan. Nilai perusahaan Rp100 juta. Tingkat pajak 30%. Biaya modal utang (kd) dan biaya modal saham (ks) meningkat sesuai dengan peningkatan utang. Tabel berikut ini meringkas tingkat utang dan nilai perusahaan.

Tingkat Utang dan Biaya Modal Rata-rata Tertimbang
Utang
Kd
kd*
ks
WACC
EBIT
Nilai Persh.
0
0
0
0.30
0.30
50.000.000
116.666.667
20.000.000
0.2
0.14
0.32
0.28
50.000.000
123.239.437
40.000.000
0.22
0.16
0.35
0.28
50.000.000
128.865.979
60.000.000
0.25
0.18
0.42
0.28
50.000.000
128.205.128
80.000.000
0.35
0.25
0.55
0.31
50.000.000
114.379.085
90.000.000
0.45
0.32
0.70
0.35
50.000.000
99.009.901

Tabel di atas menunjukkan tingkat utang yang menghasilkan nilai perusahaan optimal adalah 40juta. Nilai yang diperoleh Rp128 juta. Bagan berikut ini menunjukkan antara utang dengan WACC (biaya modal rata-rata tertimbang).

Utang dan Biaya Modal Rata-rata Tertimbang

Terlihat pada tingkat utang 40% (Rp40 juta), biaya modal rata-rata tertimbang mencapai titik minimum. Jadi simulasi tersebut menunjukkan bahwa perusahaan sebaiknya menggunakan utang sebesar Rp40 juta.


5.      PERBANDINGAN DENGAN STRUKTUR MODAL INDUSTRI/PERUSAHAAN LAIN
Metode lain untuk menentukan struktur modal adalah dengan mengikuti struktur modal industri (perusahaan yang sejenis, yang kemudian dirata-rata) atau perusahaan lain (satu atau dua) yang mempunyai risiko bisnis yang sama.
Jika perusahaan mempunyai struktur modal yang terlalu menyimpang dari rata-rata industri, maka pasar (pihak luar) akan langsung mempertanyakan penyebabnya. Penyimpangan tersebut tidak harus berarti jelek. Jika kebanyakan perusahaan menggunakan struktur modal yang konservatif, maka rata-rata industri untuk struktur modal akan terlihat lebih kecil. Meskipun kemungkinan rasio hutang yang optimal bisa lebih tinggi dari rata-rata industri. Karena itu manajer keuangan harus menyiapkan argumen yang kuat dan meyakinkan jika ingin menggunakan struktur modal yang menyimpang signifikan dari rata-rata industri.


6.      STANDAR DARI PIHAK LUAR
Pihak luar (biasanya pemberi pinjaman) akan menetapkan standar tertentu dalam struktur modal. Jika perusahaan ingin meminjam, maka perusahaan tersebut harus mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pemberi pinjaman. Pada situasi lain, jika perusahaan ingin menerbitkan obligasi (surat hutang), biasanya perusahaan tersebut akan dirating oleh perusahaan perating (contoh: Pefindo (Indonesia), Moody’s, Standard and Poor’s (Amerika Serikat)). Rating tersebut didasarkan atas beberapa faktor, diantaranya faktor struktur modal (hutang).
Rasio coverage biasanya sering digunakan oleh pemberi pinjaman dan lembaga rating untuk menilai risiko kebangkrutan. Dua rasio yang sering digunakan dalam analisis coverage adalah Times Interest Earned (TIE) dan Fixed Charge Coverage (FCC). Semakin tinggi angka tersebut, semakin aman dari risiko kegagalan membayar kewajiban. Rasio FCC memasukkan semua kewajiban pembayaran, yaitu bunga, sewa, dan cicilan pembayaran hutang (pokok pinjaman). Rasio TIE tidak memasukkan dua komponen terakhir.


7.      ANALISIS ALIRAN KAS
Manajer keuangan bisa menganalisis aliran kas, menggunakan semacam simulasi atau skenario untuk memperkirakan kemampuan membayar pada situasi yang jelek (misal resesi). Setelah mengetahui kemampuan menghasilkan kas pada situasi baik dan jelek, bisa diputuskan tingkat hutang yang optimal.

8.      KOMBINASI
Manajer keuangan tidak harus menggunakan hanya satu metode analisis dalam penentuan struktur modal. Manajer keuangan bisa menggabungkan metode-metode yang telah disebutkan di muka, untuk memperoleh gambaran yang lebih baik dan menyeluruh terhadap struktur modal tersebut.

9.      PERTIMBANGAN LAINNYA
Beberapa hal lainnya yang bisa dipakai sebagai pertimbangan dalam menentukan struktur modal. Berikut ini beberapa faktor tersebut.
    1.      Stabilitas Penjualan. Perusahaan yang mempunyai penjualan yang stabil, bisa menggunakan hutang yang semakin tinggi. Semakin stabil penjualan suatu perusahaan, semakin mampu perusahaan tersebut menutup kewajiaban-kewajibannya.
     2.      Tingkat Pertumbuhan Penjualan. Perusahaan yang mempunyai tingkat penjualan yang tinggi akan lebih menguntungkan jika memakai hutang.
     3.      Struktur Aset. Perusahaan yang mempunyai aktiva tetap yang lebih besar (yang berusia panjang), apalagi jika digabung dengan tingkat permintaan produk yang stabil, akan menggunakan hutang yang lebih besar.
     4.      Sikap Manajemen. Manajemen yang konservatif akan menggunakan hutang yang lebih sedikit, dan sebaliknya. Pemegang saham yang ingin menjaga kendali atas perusahaanya akan menggunakan hutang yang lebih banyak. Sebaliknya, jika perusahaan tidak berkepentingan terhadap kendali perusahaan, akan cenderung menerbitkan saham baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAB 14: ANALISIS INVESTASI LANJUTAN: PENDEKATAN ADJUSTED PRESENT VALUE

BAB 8: RETURN DAN RISIKO: PENDAHULUAN

BAB 11: BIAYA MODAL