BAB 10: ARBITRAGE PRICING THEORY, MODEL EMPIRIS, DAN PENGUJIAN EMPIRIS MODEL KESEIMBANGAN
BAB 10
ARBITRAGE PRICING
THEORY, MODEL EMPIRIS, DAN PENGUJIAN EMPIRIS MODEL KESEIMBANGAN
Model APT menjelaskan hubungan antara risiko dengan tingkat
keuntungan. APT berbeda dengan CAPM dalam dua hal. Pertama, proses keseimbangan
yang dibayangkan oleh APT adalah mekanisme arbitrase. Arbitrase dilakukan
sampai harga yang terjadi sama untuk semua aset yang mempunyai risiko yang
sama, mengikuti hukum the law of one price. Dalam CAPM, investor berusaha
memaksimumkan kepuasannya (utility function). Kedua, jika CAPM sampai pada
kesimpulan bahwa faktor pasar mempegaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan,
APT sampai pada kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat
keuntungan yang diharapkan untuk suatu aset.
1.
ARBITRAGE
PRICING THEORY (APT)
1.1
Proses
Arbitrase
Kegiatan
arbitrase adalah kegiatan yang berusaha memperoleh keuntungan arbitrase.
Keuntungan arbitrase adalah keuntungan yang diperoleh dengan modal nol dan
risiko nol. Proses arbitrase mendorong berlakunya hukum satu harga (the law of
one price). Hukum tersebut pada dasarnya mengatakan bahwa aset dengan
karakteristik yang sama akan terjual dengan harga yang sama dimanapun di dunia
ini.
Set yang Efisien dan Proses Arbitrase
Misalkan
Rf = 10%, tingkat keuntungan M = 20%, beta M = 1, beta Y = 0,5, dan tingkat
keuntungan Y = 12%. Untuk melihat apakah ada kesempatan arbitrase atau tidak,
kita melakukan langkah berikut ini.
1.
Membentuk portofolio M dengan Rf (dengan nama X), dengan
komposisi sedemikian rupa sehingga beta portofolio X tersebut sama dengan beta
Y, yaitu 0,5. Beta portofolio merupakan rata-rata tertimbang beta individualnya
sebagai berikut ini.
βP = ∑ wi
βi
Dimana
βP = beta portofolio
∑ = simbol penjumlahan
wi = bobot atau proporsi
untuk aset i
βi = beta aset i
Karena βM = 1, dan βRF
= 0, maka proporsi masing-masing adalah 50%. Dengan demikian beta portofolio X
akan sama dengan 0,5.
βX
= (0,5 × 0) + (0,5 × 1) = 0,5
Kemudian kita menghitung tingkat
keuntungan sebagai berikut.
E(RX)
= (0,5 × 20%) + (0,5 × 10) = 15%
Kita bisa membandingkan tingkat
keuntungan dan beta portofolio X dengan Y sebagai berikut ini.
E(RX)
= 15% βX = 0,5
E(RY)
= 12% βY = 0,5
Dari perbandingan tersebut terlihat
bahwa meskipun risiko sistematis keduanya sama, yaitu 0,5, tetapi tingkat
keuntungannya berbeda. Berarti ada kesempatan arbitrase.
2.
Arbitrase bisa dilakukan dengan jalan men-short sales aset
Y, kemudian kas masuk dipakai untuk membeli portofolio X, yang berarti membeli
50% pada portofolio M dan 50% pada aset bebas risiko.
Keuntungan dan risiko kegiatan tersebut
adalah (X minus Y):
Keuntungan = 15% - 12% = 2%
Tambahan risiko = 0,5 - 0,5 = 0
Tambahan modal = 0 karena kas masuk (modal) diperoleh dari short sales Y
(pinjam aset Y, kemudian dijual, dikembalikan periode berikutnya).
3.
Proses semacam itu akan menurunkan harga Y dan menaikkan
harga X. Kemudian tingkat keuntungan Y akan naik, tingkat keuntungan X akan
turun. Setelah tingkat keuntungan Y dan X sama, maka tidak ada lagi kesempatan
arbitrase.
Pada proses seperti dalam gambar berikut, proses arbitrase seperti yang dibicarakan tidak bisa dilakukan lagi.
Kondisi No-Arbitrage
Aset X dan Y sudah dalam kondisi keseimbangan. Keduanya mempunyai tingkat keuntungan yang diharapkan yang sama. Garis lurus semacam itu mirip dengan garis SML pada CAPM. Perbedaannya, garis tersebut hanya menampilkan hubungan risiko sistematis dengan tingkat keuntungan dalam gambar satu dimensi. APT mengatakan bahwa faktor yang relevan(sumber risiko sistematis) bisa lebih dari satu.
1.2 Model Arbitrage Pricing Theory
Proses
penghasilan return (return generating process) menurut APT bisa dirumuskan
sebagai berikut ini.
Ri
= E(Ri) + β1 (RF1 - E(RF1)) + … + βN
(RFN - E(RFN)) + ei
Dimana
Ri = tingkat keuntungan (return) aset i yang terjadi
E(Ri) = tingkat keuntungan aset i yang
diharapkan
β1 … βN = risiko sistematis aset terhadap faktor 1
... faktor N
RF1 ... RFN =
tingkat keuntungan dari faktor 1 ... faktor N
(RF1 - E(RFN) =
tingkat keuntungan yang diharapkan faktor 1 ... faktor N
Faktor bisa berupa faktor pasar (RM,
seperti dalam CAPM) atau faktor lainnya, seperti faktor ekonomi (pertumbuhan
GNP, inflasi, dan sejenisnya). Persamaan di atas mengatakan bahwa return suatu
aset sama dengan (1) return yang diharapkan, (2) perubahan faktor yang tidak
diharapkan (RF - E(RF), (3) sensitifias aset i terhadap perubahan faktor pada
(2), dan (3) random term yang mencerminkan faktor spesifik perusahaan/industri.
Dalam APT, hanya perubahan yang tidak terduga yang dikompensasi oleh return,
seperti terlihat berikut ini. Return bisa dipecah ke dalam return yang
diharapkan dan return yang tidak diharapkan:
R
= E(R) + Unexpected (Tidak Terduga)
Return yang tidak terduga bisa dipecah
ke dalam dua tipe: (1) Return yang tidak diharapkan yang berasal dari kejutan
(surprises) faktor-faktor tertentu. Kejutan tersebut bersifat sistematis (tidak
bisa dihilangkan melalui diversifikasi), dan (2) Return yang tidak diharapkan
yang berasal dari kejutan (surprises) dari perusahaan spesifik. Kejutan
tersebut bersifat tidak sistematis (bisa dihilangkan melalui diversifikasi).
Misalkan ada tiga faktor yang terlibat: (1) Inflasi, (2) Pertumbuhan GNP, dan (3)
Perubahan Tingkat Bunga. Model di atas bisa dipecah ke dalam model berikut ini.
Ri
= E(Ri) + βi - inflasi Finflasi + βi -
GNP FGNP + βi - tkt-bunga Ftkt - bunga +
εi
Misalkan
seorang investor memegang banyak (N) saham dalam portofolionya. Sumber return
dari portofolionya bisa dilihat sebagai berikut ini.
RP
= E(RP) + βP - inflasi Finflasi + βP - GNP FGNP
+ βP - tkt bunga Ftkt bunga + εP
E(RP)
= X1 E(R1) +
… + XN E(RN)
βP-Faktor
= X1 β1 - Faktor
F1 + … + X1 βN - Faktor FN
εP
= X1 ε1
+ … + XN εN
Karena ε1…εN bersifat tidak sistematis,
maka εP diharapkan mempunyai nilai 0. Dengan demikian tingkat
keuntungan portofolio bisa ditulis sebagai berikut ini.
RP
= E(RP) + βP - inflasi Finflasi + βP -
GNP FGNP + βP – tkt bunga Ftkt bunga
Perhatikan hanya risiko sistematis
terhadap faktor-faktor yang dikompensasi oleh kenaikan return.
Dengan
melakukan beberapa manipulasi matematis, model APT yang ekuivalen dengan SML
dalam CAPM bisa dirumuskan sebagai berikut ini.
E(Ri)
= Rf + βi1 (RF1 − Rf) + … + βiN (RFN
– Rf)
Dimana
E(Ri) = Tingkat keuntungan yang diharapkan untuk aset i
Rf =
Teturn aset bebas risiko
RF1.. RFN = Untuk risiko faktor 1,2,3, dan N
βi1 .. βiN = Risiko sistematis untuk faktor 1,
2, 3, dan N
Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat
keuntungan. Jika hanya satu faktor dalam model tersebut, dan faktor tersebut
adalah return pasar, maka APT akan sama dengan CAPM. Tetapi APT tidak
menjelaskan berapa faktor yang relevan dalam model tersebut.
Kelebihan APT dibandingkan dengan CAPM adalah APT tidak memerlukan
portofolio pasar dalam perhitungan tingkat keuntungan suatu aset. Secara
teoritis, portofolio pasar yang digambarkan oleh CAPM adalah portofolio yang
mencakup semua.
1.3
Perbandingan CAPM dengan APT
CAPM
dan APT merupakan dua model yang berusaha menjelaskan return atau tingkat
keuntungan. CAPM lebih tua, dan saat ini diaplikasikan lebih banyak. CAPM juga
banyak mempengaruhi model akademis. Tetapi meskipun CAPM lebih mapan,
perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa validitas CAPM diragukan. Pengujian
empiris terbaru dan juga kritik lainnya mempertanyakan validitas CAPM.
Validitas CAPM dengan demikian masih merupakan kontroversi. Model APT masih
relatif baru. Pengujian empiris dan pengembangannya masih dalam tahap awal.
Karena itu APT belum bisa menggantikan posisi CAPM.
Perbandingan CAPM dan APT
|
CAPM
|
APT
|
Bentuk
|
E(Ri) = Rf + β1
(E(RM − Rf)
|
E(Ri)
= Rf + βi1 (E(RF1 − Rf) + βi2 (E(RF2 – Rf)
|
Return Generating
Process
|
Return asset
merupakan fungsi dari faktor tunggal, yaitu return pasar
|
Return asset
merupakan fungsi dari beberapa faktor, misal produksi nasional, inflasi dan
bisa juga return pasar
|
Proses
|
Investor
memaksimumkan utilitas (fungsi kepuasan). Pertama, melalui set yang efisien investasi berisiko, kemudian set yang
efisien dengan memasukkan aset yang bebas risiko
|
Investor melakukan
kegiatan arbitrase untuk memanfaatkan ketidakseimbangan harga. Kegiatan
tersebut membuat tercapainya harga keseimbangan
|
Kelebihan
|
Proses yang
digambarkan oleh CAPM (set yang efisien, memaksimumka kepuasan) cukup
intuitif dan jelas. Penggunaan hanya satu faktor cukup sederhana, sehingga
aplikasi lebih mudah
|
Banyak faktor yang
digunakan membuat perhitungan keuntungan yang diharapkan dengan APT menjad
lebih akurat. APT tidak memerlukan portofolio pasar yang sulit diestimasi
|
Kelemahan
|
CAPM memerlukan
portofolio pasar. Secara toeritis potofolio tersebut memasukkan semua asset
yang ada di dunia, baik yang diperdagangkan atau tidak. Penggunaa proksi
tidak menyelesaikan masalah, karena banyak proksi dan hasil satu proksi
dengan lainnya bisa berbeda.
|
APT menggunakan
beberapa faktor, tetapi factor tersebut tidak pernah dijelaskan apa saja dan
berapa. Karena itu interpretasi dan aplikasi APT menjad tidak jelas dan
sulit.
|
2. PENGUJIAN DATA KESEIMBANGAN
2.1
Data Historis dan Model Berdasarkan
Ekspektasi (Pengharapan) dalam CAPM
Salah
satu masalah dalam pengujian CAPM adalah CAPM ditulis dalam bentuk ekspektasi
(pengaharapan). Data historis sering digunakan sebagai proksi pengharapan di
masa mendatang. Asumsi yang digunakan adalah pola data historis adalah stabil,
dan secara umum (rata-rata) dalam jangka panjang, pengharapan investor akan
terbukti benar. Dua argumen tersebut mendasari dipakainya data historis sebagai
pengukur harapan (ekspektasi) di masa mendatang.
Argumen lain menggunakan pendekatan
sebagai berikut ini. Menurut model pasar, return suatu saham dipengaruhi oleh
return pasar sebagai berikut ini.
R~it
= αi + βi (R~Mt) + e~it
Dimana tanda ~ berarti variabel tersebut
bersifat random. Return yang diharapkan bisa dituliskan sebagai berikut.
E(Ri)
= αi + βi E(RM) atau E(Ri) - αi
- βi E(RM) = 0
Dengan menambahkan term tersebut (yang
nilainya 0, sehingga penambahan term tersebut tidak akan berpengaruh), dan kemudian
kita melakukan penyederhanaan, maka akan diperoleh:
R~it
= E(Ri) + βi (R~Mt - E(RM) ) + e~it
Model CAPM sederhana bisa dituliskan sebagai berikut.
E(Ri) = RF + βi [ E(RM)
- RF ]
Persamaan di atas dimasukkan kembali ke
persamaan sebelumnya, kemudian dilakukan penyederhanaan, maka kita akan
memperoleh
R~it
= RF + βi (R~Mt - RF) + e~it
Model tersebut menunjukkan bahwa data
historis nampaknya bisa digunakan untuk menguji CAPM. Tetapi ada tiga asumsi
yang mendasari model tersebut:
1.
Model pasar berlaku untuk setiap periode
2.
Model CAPM berlaku untuk setiap periode
3.
Beta stabil selama waktu pengamatan.
Pengujian dengan model diatas, merupakan pengujian secara
simultan ketiga hipotesis tersebut.
2.2
Pengujian Empiris CAPM
Meskipun
CAPM dibangun atas dasar asumsi yang tidak realistis, tetapi baik tidaknya CAPM
akan ditentukan oleh kemampuannya menjelaskan fenomena.
Beberapa
implikasi dari CAPM bisa ditarik, yaitu:
(1)
Semakin besar risiko sitematis pasar (bi) akan semakin
tinggi tingkat keuntungan aset tersebut
(2)
Hubungan antara risiko sistematis dengan tingkat keuntungan
(return) bersifat linear
(3)
Hanya risiko sistematis yang dikompensasi oleh kenaikan
tingkat keuntungan (return). Risiko atau faktor lainnya tidak ada hubungannya
dengan return.
Berikut ada 2 pengujian klasik yang
mendukung validitas CAPM (didukung bukti empiris).
a.
Pengujian oleh Black, Jensen, dan
Scholes (1972)
Mereka melakukan pengujian CAPM melalui
pengujian time-series dan cross-sectional. Pertama, mereka menguji model
time-series CAPM
Rit – RFt
= αi + βi (RMt - RFt) + eit
Jika CAPM menjelaskan return, maka kita
bisa mengharapkan nilai αi = 0. Kita bisa menggunakan saham (sampel)
yang banyak, dan kemudian untuk setiap sampel, dijalankan regresi seperti di
atas. Kemudian distribusi alpha (αi) atau intercept bisa dilihat dan
diuji, apakah sama dengan nol atau tidak.
Pengujian bisa dilakukan dengan, misal
uji t-test untuk melihat apakah rata-rata intercept sama dengan nol. Yang
menjadi masalah, pengujian semacam itu mengasumsikan kovarians residual antar
saham sama dengan nol (eit, ejt = 0). Pada kenyataannya,
kovarians residual tersebut tidak sama dengan nol. Dengan demikian pengujian
sederhana dengan mengamati distribusi αi tidak bisa dilakukan. Untuk mengatasi
masalah tersebut, pengujian time-series portofolio bisa digunakan. Untuk setiap
periode, kita membentuk portofolio yang kemudian dihitung return atas portofolio
tersebut, sebagai berikut ini.
RPt – RFt
= αP + βP (RMt - RFt) + ePt
Pada waktu Black, Jensen, dan Scholes
(1972) membentuk portofolio, mereka ingin memaksimumkan variasi beta sehingga
efek beta terhadap return bisa dilihat. Cara yang paling mudah adalah membentuk
portofolio berdasarkan beta yang sesungguhnya. Masalah statistik adalah kita
tidak bisa menghitung beta sesungguhnya. Dengan demikian akan mempunyai potensi
bias. Jika kita meranking beta berdasarkan beta observasi, ada potensi bias seleksi
(selection bias). Saham dengan observed beta yang tinggi mempunyai kemungkinan
yang lebih tinggi untuk menghasilkan kesalahan pengukuran yang positif (bias
yang positif), yang kemudian mengakibatkan interceptnya (dalam persamaan di
atas) menjadi bias negatif (terlalu rendah dari yang seharusnya). Hal yang
sebaliknya akan terjadi dengan saham dengan observed beta yang rendah.
Untuk mengatasi masalah tersebut,
digunakan variabel instrumen. Variabel tersebut idealnya variabel yang
mempunyai korelasi yang tinggi dengan true-beta (beta sesungguhnya) tetapi bisa
diobservasi secara independen. Mereka menggunakan observed-beta pada periode
sebelumnya sebagai variabel instrumental. Kemudian mereka menjalankan regresi
model CAPM:
RPt – RFt
= αP + βP (RMt - RFt) + ePt
Mereka kemudian membandingkan CAPM
standar dengan CAPM versi beta nol (zero beta version). Menurut CAPM versi beta
nol, return bisa dituliskan sebagai berikut.
Rit = E(RZ)
(1 - βi) + βi RMt + eit
Dimana E(RZ) adalah return
portofolio dengan beta sama dengan nol. Sedangkan model yang diuji adalah:
Rit = αi
+ RF (1 - βi) + βi RMt + eit
Jika versi beta sama dengan nol
berlaku, maka kedua persamaan di atas jika digabungkan, dan dihitung
interceptnya, akan diperoleh
αi = (E(RZ)
- RF) (1 - βi)
E(RZ) lebih besar
dibandingkan dengan RF, karena itu (E(RZ) - RF)
akan bernilai positif. (1 - β) akan bernilai negatif jika β > 1, dan
bernilai positif jika β < 1. Dengan demikian, untuk beta yang tinggi,
intercept akan bernilai negatif, dan sebaliknya, untuk beta yang rendah, intercept
akan bernilai positif. Tahap berikutnya adalah pengujian cross-sectional
hubungan antara risiko dengan return. Estimasi beta yang bebas dari bias (dari
first-pass regression) penting dilakukan karena estimasi yang salah bisa
mengakibatkan pengujian second pass regression menjadi tidak benar, karena
mengakibatkan bias dalam slope, intercept, dan mengakibatkan residual (risiko
tidak sistematis) menjadi proksi untuk risiko sistematis (dan mempunyai
pengaruh terhadap return, meskipun pada kenyataannya tidak ada pengaruh).
Penggunaan portofolio merupakan salah satu cara untuk menghilangkan masalah
tersebut, karena dalam portofolio, estimasi yang terlalu tinggi akan
dikompensasi dengan estimasi yang terlalu rendah, yang mengakibatkan efek
keseluruhan (error secara keseluruhan) menjadi nol.
b.
Pengujian oleh Fama dan MacBeth (1973)
Fama
dan MacBeth (1973) melakukan pengujian CAPM dengan menggunakan spesifikasi
berikut ini.
Rit
= γ0t + γ1t βi + γ2t βi2
+ γ3t Sei + ηit
Spesifikasi tersebut ditujukan untuk menguji
hipotesishipotesis berikut ini.
1. Hipotesis 1: Menurut CAPM, ada hubungan
antara risiko sistematis dengan return. Jika hal tersebut berlaku, kita bisa
mengharapkan nilai koefisien regresi γ1t adalah positif .
2. Hipotesis 2: Menurut CAPM, hubungan
antara risiko sistematis dengan return bersifat linear. Jika hipotesis tersebut
didukung oleh data empiris, maka koefisien regresi γ2t mempunyai nol. βi2 (beta
dikuadratkan) dimaksudkan untuk melihat non-linearitas hubungan antara risiko
sistematis dengan return
3. Hipotesis 3: Menurut CAPM, hanya risiko
sistematis yang dihargai oleh pasar. Risiko tidak sistematis tidak dihargai
oleh pasar. Sei dipakai sebagai proksi untuk risiko tidak sistematis (residual).
Jika CAPM didukung oleh bukti empiris, maka koefisien regresi γ3t mempunyai
nilai 0.
Mereka
melangkah lebih lanjut untuk melihat apakah pasar berada dalam kondisi
keseimbangan (fair game). Jika kondisi tersebut berlaku, maka investor tidak
bisa menggunakan informasi saat ini untuk memperoleh excess return. Secara
spesifik, pengujian hipotesis tersebut bisa dilakukan dengan melihat korelasi
antara parameter γ2t, γ3t pada periode t dengan parameter
tersebut pada periode t + 1. Jika korelasi tersebut kecil, kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa informasi saat ini tidak bisa dipakai untuk memprediksi
kondisi mendatang, dan dengan demikian tidak bisa dipakai untuk memperoleh
excess return.
Fama
dan MacBeth (1973) menghitung beta first-pass regression dengan metode yang
sama dilakukan oleh Black, Jensen, dan Scholes (1972). Mereka membentuk 20
portofolio menggunakan data bulanan 5 tahun sebelumnya (sebelum pengujian
cross-sectional). Kemudian, menguji second-pass regression dengan menggunakan
data bulan berikutnya (sesudah lima tahun first-pass regression). Kemudian
mereka mengulangi prosedur yang sama, sehingga pengujian cross-sectional
dilakukan tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali dari periode tahun 1935
sampai dengan tahun 1968. Dengan cara semacam ini, mereka bisa melihat
bagaimana parameter-parameter tersebut berubah dari waktu ke waktu. Nilai
rata-rata untuk setiap parameter (γ0t, γ1t, γ2t,
γ3t) kemudian dihitung dan kemudian diuji signifikansinya, apakah
berbeda dari nol atau tidak.
Hasil
pengujian menunjukkan, secara umum koefisien regresi γ1t menunjukkan
rata-rata angka yang positif dan signifikan berbeda dari nol. Sedangkan regresi
γ2t dan γ3t menunjukkan rata-rata angka yang kecil dan
tidak berbeda dari nol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa CAPM didukung oleh
data empiris.
2.3 Kritik terhadap CAPM
Bukti-bukti
empris yang disajikan di muka nampaknya mendukung CAPM. Tetapi perkembangan
selanjutnya mempertanyakan validitas CAPM baik secara teoritis konseptual
maupun secara empiris.
a.
Anomali yang Berkaitan dengan Risiko
dan Return
Pengujian empiris tahap-tahap awal
sepertinya memberikan dukungan empiris terhadap CAPM. Pada tahap selanjutnya,
penemuan empiris menunjukkan bahwa ada ‘sesuatu yang kurang’ dalam CAPM. CAPM
mengatakan bahwa hanya variabel beta (risiko sistematis) yang mempengaruhi
return. Penemuan selanjutnya menunjukkan bahwa beberapa variabel lain ternyata
mempengaruhi return. Yang pertama dan yang paling populer adalah efek size
(ukuran perusahaan). Banz (1981) menunjukkan bahwa return (baik yang
disesuaikan maupun tidak dengan risiko) berhubungan terbalik dengan size
(ukuran perusahaan).
Peneliti lain
menemukan bahwa variabel PER (Price Earning Ratio) mempengaruhi return (Basu,
1977, 1983), meskipun dikontrol oleh risiko sistematis (beta). Saham dengan
rasio P/E rendah mempunyai return yang lebih tinggi dibandingkan saham dengan
P/E tinggi. Variabel P/E juga relatif mudah didapatkan, sehingga timbul
pertanyaan kenapa variabel yang mudah didapatkan tersebut menghasilkan premi
yang tinggi. Fama dan French dan Reinganum menunjukkan bahwa rasio nilai pasar
saham dengan nilai buku saham bisa memprediksi cross-sectional return.
Bagan berikut ini menunjukkan efek size dan ME/BE terhadap return menurut Fama dan French.
Efek Size terhadap Return
Efek ME/BE terhadap Return
Pada bagan pertama, saham dibagi kedalam 5 kelompok berdasrkan ukuran saham. Kelompok satu adalah kelompok yang paling kecil, sedangkan kelompok 5 adalah kelompok yang paling besar. Kelompok 1 mempunyai return 18,9%, sedangkan kelompok 5 mempunyai return 11,91%.
Pada bagan kedua, saham dibagi kedalam 10 kelompok. Kelompok 1 menghasilkan return sekitar 1,7%, sedangkan kelompok 10 menghasilkan return sekitar 0,8%.
Fama dan French
(1992) menguji CAPM secara empiris. Mereka melihat korelasi yang cukup tinggi
antara size (ukuran saham) dengan beta saham. Untuk memisahkan efek size
terhadap return, mereka membentuk portofolio. Pertama, mereka membentuk decile
portofolio (10 kelompok) atas dasar size. Kemudian untuk setiap decile size,
mereka membentuk decile berdasar pre-ranking beta (beta yang dihitung
menggunakan periode sebelum pengujian). Mereka mempunyai 10 kali 10 atau 100
portofolio yang menjadi sampel (bandingkan dengan 10 portofolio pada studi oleh
Black, Jensen, dan Scholes). Dengan cara itu bisa memisahkan efek size
(mengontrol efek size) sekaligus memaksimumkan variasi beta sehingga efek beta
terhadap return bisa diuji. Dengan metode pengambilan sampel itu, mereka
menguji hubungan antara risiko dengan return cross-sectional.
Secara keseluruhan,
variabel size dan BE/ME merupakan variabel yang signfikan mempengaruhi return.
Dengan latar belakang seperti itu, Fama dan French mengembangkan model tiga
faktor, yang memasukkan faktor pasar, size, dan BE/ME.
b.
Kritik Roll terhadap CAPM
Richard Roll (1977) melancarkan kritik
secara konseptual terhadap CAPM. Pada intinya, Roll berargumen bahwa CAPM tidak
bisa diuji secara empiris. Argumen yang lebih rinci adalah sebagai berikut ini.
\
1. Hanya ada satu hipotesis yang diuji
dari CAPM yaitu portofolio pasar adalah efisien (dalam konteks mean atau
return-varians).
2. Semua implikasi dari model, yaitu
hubungan yang linear antara return dengan risiko sistematis (beta), merupakan
kelanjutan dari efisiensi portofolio pasar dan dengan demikian tidak bisa diuji
secara independen. Ada hubungan ‘jika dan hanya jika’ (if and only if) antara
hubungan beta-return dan efisiensi portofolio pasar (hubungan beta return bisa
diuji hanya jika portofolio pasar adalah efisien, jika tidak efisien maka kita
tidak bisa menguji hubungan beta-return)
3. Jika menggunakan data historis, maka
ada portofolio pasar yang efisien yang jumlahnya tidak terbatas. Beta tersebut
akan berada pada garis SML. Dengan kata lain, beta yang dihitung menggunakan
portofolio tersebut akan berada pada garis SML, tidak tergantung apakah
portofolio pasar efisien (dalam konteks mean dan varians) dalam bentuk
pengharapan (ex-ante)
4. CAPM tidak bisa diuji kecuali jika
mengetahui komposisi portofolio pasar yang sesungguhnya, dan menggunakannya
untuk pengujian empiris. Hal tersebut berarti teori CAPM tidak bisa diuji
kecuali jika kita bisa mengidentifikasi semua aset individual dan memasukkannya
sebagai portofolio pasar
5. Menggunakan indeks pasar (misal Indeks
Harga Saham Gabungan atau Standard and Poors 500) sebagai proksi portofolio
pasar bisa menimbulkan masalah. Pertama, proksi itu sendiri barangkali efisien
dalam konteks mean-varians, meskipun portofolio pasar yang sesungguhnya tidak
efisien dalam konteks mean-varians. Sebaliknya, proksi tersebut barangkali
tidak efisien, tetapi hal tersebut tidak mempunyai implikasi apapun terhadap
portofolio pasar yang sesungguhnya. Kemudian, proksi-proksi yang ada (yang
banyak) akan berkorelasi tinggi satu sama lain, juga dengan portofolio pasar
yang sesungguhnya, tidak tergantung apakah proksi tersebut efisien atau tidak.
Korelasi yang tinggi bisa membuat kita berkesimpulan komposisi portofolio pasar
yang tepat tidak penting, padahal penggunaan proksi yang berbeda bisa
menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Problem tersebut sering disebut benchmark
error, yaitu penggunaan benchmark yang salah dalam pengujian suatu teori.
Jika kita tidak menemukan hubungan antara risiko dengan return,
kita tidak bisa mengetahui apakah hasil tersebut dikarenakan teori yang salah
(tidak terbukti) atau pilihan proksi pasar yang kebetulan tidak tepat. Singkat
kata, hasil yang ditunjukkan oleh pengujian CAPM tidak bisa menunjukkan apapun.
2.4 Pengujian APT
a.
Pengujian dengan Analisis Faktor
Salah satu kelemahan APT adalah faktor-faktor dalam APT
tidak pernah disebutkan dengan jelas. Menurut modelnya, faktor-faktor tersebut
diserahkan pada penelitian empiris, baik jenis maupun jumlahnya. Pada dasarnya
ada dua jenis penelitian untuk mengidentifikasi faktor-faktor tersebut.
Pertama, menggunakan analisis faktor. Dengan analisis ini, return untuk semua
aset dimasukkan. Kemudian analisis fakor akan mengelompokkan return-return
tersebut ke dalam jumlah yang lebih sedikit. Setelah diperoleh faktor-faktor
tersebut, kita bisa melanjutkan pengujian untuk memperoleh factor loadings
(beta atau risiko sistematis) atas faktor-faktor tersebut, untuk setiap
sahamnya.
Secara spesifik, kita bisa melakukan pengujian dengan regresi
time-series sebagai berikut ini (misal kita hanya memfokuskan pada empat faktor
terbesar yang bisa menjelaskan variasi return).
Rit = α + ßi1 RF1t + ßi2
RF2t + ßi3 RF3t + ßi4 RF4t
+ eit
ßi1, ßi2, ßi3t dan ßi4
merupakan factor loadings, yang bisa diinterpretasikan sebagai risiko
sistematis (beta) aset i terhadap faktor 1, 2, 3, dan 4. Beta tersebut sama
dengan beta pasar yang dihasilkan oleh regresi tahap pertama (first pass
regression) dalam CAPM.
Tahap berikutnya adalah pengujian cross-sectional untuk
melihat apakah risiko sistematis tersebut dihargai oleh pasar. Pengujian bisa
dilakukan dengan analisis regresi, dalam hal ini akan sama dengan second pass
regression dalam pengujian CAPM, seperti berikut ini.
E(Ri) = λ0 + λ1 ßi1
+ λ2 ßi2 + λ3 ßi3 + λ4 ßi4
+ εi
Nilai λ1, λ2, λ3, dan λ4
bisa diharapkan positif atau negatif tergantung dari faktor tersebut. Nilai
positif menandakan adanya premi risiko yang positif. Nilai seperti ini bisa
diharapkan untuk faktor pada umumnya. Contoh, faktor pasar atau faktor produksi
bisa diharapkan mempunyai nilai yang positif. Tetapi jika aset bisa dipakai
sebagai hedge (lindung nilai), maka nilai λ bisa diharapkan
Premi risiko bisa diharapkan negatif, yang berarti faktor
tersebut tidak perlu dikompensasi dengan kenaikan tingkat keuntungan, tetapi
investor bersedia mengorbankan tingkat keuntungan untuk memperoleh faktor
tersebut. Faktor inflasi bisa diharapkan mempunyai λ yang negatif, karena saham
cenderung bisa sebagai hedge atas inflasi (korelasi positif antara keduanya).
b.
Pengujian Pre-Spesifikasi Faktor
Pengujian lain adalah dengan menentukan faktor-faktor apa
saja yang bisa mempengaruhi return saham/aset. Kalau dalam metode pertama
penentuan faktor ditentukan oleh hasil/perhitungan empiris, dalam metode kedua,
faktorfaktor ditentukan di muka. Faktor-faktor tersebut bisa diambil dari teori
ekonomi atau pengamatan empiris. Chen, Roll dan Ross (1986) berargumen bahwa
ada empat faktor yang mempengaruhi risiko saham, yaitu:
(1)
Inflasi: inflasi mempengaruhi aliran kas masa mendatang dan
juga discount rate
(2)
Term structure atau yield curve: Yield curve adalah
perbedaan antara yield obligasi jangka waktu panjang dengan yield obligasi
jangka pendek. Yield curve tersebut mempengaruhi discount rate (risiko)
(3)
Premi risiko: Perbedaan antara tingkat bunga untuk obligasi
risiko rendah (rating Aaa) dengan tingkat bunga obligasi risiko tinggi (Baa).
Premi risiko mempengaruhi discount rate
(4)
Produksi industri. Perubahan produksi industri mempengaruhi
aliran kas masa mendatang. Chen, Roll, dan Ross (1986) kemudian menghitung
sensitivitas return saham terhadap keempat faktor tersebut. Tahap ini mirip
dengan first pass regression dalam pengujian CAPM. Setelah sensitivitas (beta,
atau risiko sistematis) tersebut diperoleh, kemudian dilakukan pengujian
cross-sectional untuk melihat apakah ada premi risiko untuk faktor-faktor
tersebut.
Mereka menemukan hubungan yang kuat dalam regresi tersebut,
yang berarti ada premi risiko untuk faktorfaktor tersebut. Kemudian mereka
mencoba mengkontraskan beta faktor-faktor tersebut dengan beta pasar. Beta
pasar merupakan wakil dari CAPM. Model yang diuji bisa ditulis sebagai berikut
ini.
E(Ri) = λ0 + λ1 (βi
VWNY) + λ2 (βI MP) + λ3 (βI DEI) +
λ4 (βi UI) + λ5 (βi UPR) + λ6
(βi UTS) + εi
3. MODEL EMPIRIS DAN MODEL TIGA FAKTOR
3.1
Model Empiris
Model
empiris dalam penentuan tingkat keuntungan yang diharapkan didasarkan pada
pengamatan empiris, berbeda dengan model CAPM atau APT yang didasarkan pada
pengembangan teori. Model empiris tersebut melihat adanya pola-pola tertentu di
pasar keuangan, yang mempengaruhi tingkat keuntungan. Bagian atas (pengujian
empiris) menunjukkan adanya anomalianomali yang tidak bisa dijelaskan oleh
model-model keseimbangan risiko-return. Anomali tersebut adalah (antara lain)
anomali ukuran (size), anomali rasio PER (Price Earning Ratio), dan anomali
rasio BE/ME (Book Value to Market Value of Equity).
Dengan
menggunakan ketiga anomali tersebut, kita bisa mengembangkan model empiris,
misal seperti berikut ini.
E(Ri)
= RF + βi 1 (Size) + βi 2 (PER) + βi 3
(BE/ME) + eit
βi bisa diestimasi
berdasarkan data historis (time-series). Setelah βi dihitung, tingkat
keuntungan yang diharapkan untuk suatu aset bisa dihitung. Karena tidak
didasarkan pada teori, maka kritik utama untuk model empiris adalah pola-pola
yang muncul tersebut kemungkinan hanya muncul karena kebetulan.
Pendukung
model empiris berargumentasi bahwa pola yang telah mereka temukan merupakan
pola yang nyata, karena analisis telah dilakukan dengan hati-hati. Barangkali
pendekatan yang ideal adalah gabungan antara keduanya (empiris dan teori).
Teori diperlukan untuk mengarahkan penelitian dan pembuatan model. Di lain
pihak, empiris diperlukan untuk melihat sejauh mana konsistensi model atau
teori dengan kondisi empiris.
3.2
Model Tiga Faktor Fama dan French
Berangkat
dari anomali-anomali yang telah ditemukan, Fama dan French (1992)
berargumentasi bahwa garis SML seharusnya dipengaruhi oleh tiga faktor. Ketiga
faktor tersebut adalah:
(1)
Beta CAPM, yang mengukur risiko pasar
(2)
Size (ukuran) saham, yang dilihat melalui nilai kapitalisasi
pasar saham (jumlah saham yang beredar dikalikan dengan harga saham). Saham
kecil cenderung mempunyai risiko yang lebih tinggi, karena itu mempunyai
tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan saham besar
(3)
Nilai buku saham dibagi dengan nilai pasar saham
(Book-to-Market ratio). Nilai rasio B/M yang besar mencerminkan investor yang
pesimistis terhadap masa depan perusahaan. Sebaliknya, jika investor optimistik
terhadap masa depan perusahaan, maka nilai B/M akan kecil (nilai pasar saham
jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai bukunya). Saham dengan nilai B/M
besar cenderung lebih berisiko (kemungkinan bangkrut lebih besar) dibandingkan
dengan saham dengan nilai B/M rendah, dan dengan demikian mempunyai tingkat
keuntungan yang diharapkan lebih tinggi dibandingkan dengan saham dengan B/M
rendah.
Fama
dan French menguji secara empiris ketiga variabel tersebut. Mereka menemukan
variabel ukuran dan B/M mempengaruhi cross-sectional return, tetapi variabel
beta pasar ternyata tidak berpengaruh. Kemudian Fama dan French kemudian
mengembangkan model tiga faktor, yang bisa dituliskan sebagai berikut ini.
Ri
- RF = α + βi (RM - RF) + γi (SMB)
+ δi (HML) + ei
Dimana:
Ri = return saham i historis
RF = return aset bebas risiko historis
α = intercept
βi = beta pasar atau koefisien regresi
RM = return atau tingkat keuntungan
pasar historis
γi = koefisien regresi saham i terhadap
return SMB
SMB
= Small minus Big, yaitu selisih return portofolio saham kecil dengan
portofolio saham besar
δi = koefisien regresi saham i terhadap
return HML
HML
= High minus Low, yaitu selisih return portofolio saham dengan B/M tinggi
dengan portofolio saham dengan B/M rendah
Ei = error term
Fama dan French membentuk SMB sebagai
berikut. Mereka meranking semua saham yang aktif berdasarkan ukuran saham.
Kemudian mereka membagi saham ke dalam dua kelompok, yaitu saham besar dengan
saham kecil. Kemudian return untuk setiap kelompok dihitung, kemudian return
kelompok saham besar dikurangkan dari return kelompok saham kecil. Untuk HML,
mereka membentuk portofolio yang terdiri dari 30% saham dengan nilai B/M
tertinggi dan 30% saham dengan nilai B/M terendah. Kemudian return HML
diperoleh dengan mengurangi return kelompok B/M tinggi dengan return kelompok
B/M rendah.
Aplikasi
model tiga faktor untuk menghitung return yang diharapkan untuk suatu aset
(mirip dengan SML pada CAPM) adalah:
E(Ri)
= RF + α + βi (RM - RF) + γi (SMB)
+ δi (HML)
Misalkan untuk saham Microsoft, kita
menghitung regresi time-series (secara terpisah) untuk suatu saham dengan
variabel tidak bebas adalah return saham dan variabel bebas adalah return pasar,
return SMB, dan return HML. Hasil yang diperoleh yaitu koefisien regresi adalah
sebagai berikut ini.
α
= 0,0 βi = 1,2 γi = 0,3 δi = 0,2
Misalkan premi risiko pasar adalah 10%
(RM - RF), return aset bebas risiko adalah 10%. Misalkan berdasarkan perhitungan
data historis, return SMB adalah 4%, dan return HML adalah 6%. Return yang
diharapkan untuk Microsoft dengan menggunakan model tiga faktor:
E(Ri)
= 10 + 0,0 + 1,2 (10) + 0,3 (4) + 0,2 (6) = 13,6%
Perhatikan jika kita menggunakan CAPM,
maka tingkat keuntungan yang diharapkan untuk Microsoft adalah:
E(Ri)
= RF + βi (RM - RF)
= 10 + 1,2 (10) = 11,2%
Terlihat perhitungan tingkat keuntungan
yang berbeda untuk kedua model tersebut. Pertimbangan (judgment) dari analis
sangat diperlukan untuk menentukan tingkat keuntungan yang disyaratkan dengan
tepat.
kok podo bayu?
BalasHapus